Masyarakat
tradisi Minangkabau yang agraris telah lama Mengenal, memanfaatkan,
memelihara, mengembangkan dan melestarikan tumbuhan, tanaman dan hewan
untuk berbagai keperluan kehidupan. Punya aturan dan cara tersendiri
agar tidak saling memusnahkan, sebagai penjabaran dari ajaran adatnya;
alam takambang jadi guru.
Perilaku
dan perbuatan harus berpunca kepada alam. Kehidupan manusia dan alam
berada dalam keseimbangan dan perimbangan, saling memerlukan dan
diperlukan.
Manusia
memerlukan tumbuhan, tanaman dan hewan untuk hidupnya, tanaman dan
hewan memerlukan manusia untuk pengembangan dan pemeliharaannya.
Ketika
masyarakat tradisi memasuki era modernisasi, kehidupan yang lebih
mengarah pada eskploitasi dan jasa. Tumbuhan, tanaman dan hewan dilihat
sebagai sesuatu yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk
kepentingan manusia.
Tanpa mempertimbangkan hubungan antara alam dan manusia yang harus saling menjaga, seimbang, berimbang dan memerlukan.
Fungsi
tumbuh-tumbuhan, tanam-tanaman dan hewan menjadi berubah. Tidak lagi
sebagai bagian dari alam, tetapi sebagai pelengkap dari kehidupan
manusia.Dengan arti kata, konsepsi keseimbangan antara kehidupan manusia
dan alam, bergeser menjadi konsepsi penaklukan manusia terhadap alam.
Dari
titik penaklukan inilah, mulai timbulnya ketidakseimbangan antara alam
dengan manusia. Alam ditaklukkan dengan nafsu dan kerakusan berlebihan.
“Alam” memperlihatkan kerusakannya akibat penaklukan itu.
Hilangnya
berbagai species hewan dan tumbuhan yang berguna bagi kehidupan
manusia. Munculnya species-species baru yang tidak toleran, menyebabkan
manusia harus membuat racun-racun pembunuh yang sekaligus juga membunuh
manusia itu sendiri secara perlahan.
Dalam
konteks “ketidakseimbangan” antara manusia dan alam yang kini melanda
dan sekaligus mengancam kehidupan, kita perlu menoleh kembali pada pola
pelestarian yang telah dilakukan masyarakat secara tradisi. Terutama
pada penempatan posisi manusia dan alam. Bagaimana masyarakat tradisi
Minangkabau itu dengan kearifan yang dimilikinya menempatkan diri
sebagai “manusia” di tengah-tengah “alam” dan menempatkan “alam” dalam
kehidupannya.
Pola
pelestarian yang dimiliki masyarakat tradisi Minangkabau secara
tertulis dapat ditemukan pada berbagai kaba seperti pada kaba Cindua
Mato, Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih dan lainnya. Walaupun dalam
teks kaba itu tidak diuraikan secara jelas dan khusus, namun ada kalimat
atau ungkapan yang dapat dijadikan rujukan.Juga pada pantun-pantun atau
pepatah-petitih.
Pola
pelestarian tersebut masih dapat dirujuk pada kebiasaan/tradisi yang
masih berlaku dan dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat tradisi
pada berbagai negeri di Minangkabau.
Terutama
dalam upacara-upacara mendirikan rumah gadang, menaiki rumah gadang,
adat perkawinan dan penobatan penghulu. Pola pelestarian ini dapat juga
ditemukan dalam rencana tatanan tanaman pekarangan Istana Basa
Pagaruyung yang terbakar karena petir dan sekarang sedang dibangun
kembali. Walaupun susunan tanaman pekarangan itu masih memerlukan
kesempurnaan, namun dapat membantu, sebagai pembanding dari teks yang
ditemukan dalam berbagai cerita rakyat.
Istano Silinduang Bulan |
Teks
lain sebagai pembanding adalah buku panduan dari Istano Si Linduang
Bulan Pagaruyung yang dibakar orang dan sekarang sedang dibangun
kembali, terutama menyangkut nama-nama ukiran yang terdapat di rumah
gadang tersebut.
Sebelum
kita membicarakan lebih lanjut tentang arsitektur lanskap Minangkabau,
ada baiknya kita tinjau keberadaan Rumah Gadang sebagai salah satu
bentuk budaya Minangkabau dalam arsitektur.
Arti dan Fungsi Rumah Gadang
Rumah Gadang |
Rumah
Gadang adalah sebuah bangunan tempat tinggal, mempunyai banyak kamar,
ruang tengah yang luas dengan bentuk bangunannya yang khas. Selain
tempat tinggal, rumah gadang juga dijadikan sebagai tempat melakukan
berbagai aktivitas dan upacara-upacara adat seperti; upacara perkawinan,
kematian dan menobatkan/mendirikan penghulu. Oleh karena rumah gadang
juga sering pula disebut rumah adat.
Rumah
gadang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat untuk
upacara-upacara adat. Rumah Gadang adalah pusat informasi suatu
kaum/suku terhadap keberadaan setiap anggotanya. Dari rumah gadang itu
mereka mengetahui, mengenal dan mengontrol setiap tindakan dan perilaku
anggota kaum. Rumah gadang juga merupakan alamat yang jelas dari
seseorang, tempat pulang/kembali.
Rumah
gadang adalah tanda dari status seseorang. Menurut ajaran adatnya,
seseorang dapat dikatakan orang Minang apabila orang itu mempunyai rumah
gadang. Oleh karena begitu pentingnya, rumah gadang mendapat perlakuan
istimewa. Selalu dipertahankan setiap anggota kaumnya; dijaga status,
wibawa dan fungsinya.
Bila
rumah gadang tidak mendapat perawatan yang baik, mungkin karena tidak
ada dana untuk perbaikannya, kaum itu dibolehkan menggadaikan tanah
pusaka. Rumah gadang tidak dapat dimiliki secara pribadi, tetapi harus
atas nama kaumnya.
Sumber: padangekspres.co.id (Puti Reno Raudha Thaib, Ketua Umum Bundo Kanduang, Sumatera Barat)
0 Pos by admin komentar:
Post a Comment