|
Umoh panja/laheik/larik |
Rumah tradisional Kerinci, yakni umoh laheik atau umoh panja,yang merupakan salah satu arsitektur tradisional dari Kerinci,
kini semakin langka, bahkan bisa dikatakan telah punah dan digantikan
oleh rumah-rumah dengan bangunan beton yang permanen. Penyebanya, telah
berubahnya pola pikir dan gaya hidup masyarakat menjadi lebih modernis,
individualis, dan praktis seperti sekarang, juga karena semakin
meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Konsep landscape, Rumah larik
dapat dibagi berdasarkan konsep ruang makro, meso, dan mikro. Ruang
makro terdiri dari ruang hutan, ruang pertanian, dan ruang pemukiman.
Hutan
yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam
tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi sebagai
daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman.
Ruang
pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan sawah (tanah basah)
terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan untuk bercocok
tanam bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk mendirikan
pemukiman baru. Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang
berstatus hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang telah diatur
oleh Ninik Mamak.
Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah “parit sudut empat”
yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat dengan
pemukiman di luarnya. Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini
berstatus hak milik kaum yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual belikan.
Pola
Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung
menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk
sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.
Rumah
ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu
horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian
ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak,
bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk
menyimpan benda-benda pusaka. Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat
dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu
antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai
kemanusiaan yang tinggi. Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan
untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti padi. kopi, dan kayu
manis.
Umoh laheik,
dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga
menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau
lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Konstruksinya
tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat
tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan
pasak dan ikatan tambang ijuk. Atapnya pada masa awalnya bukan seng atau
genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk.
Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.
Umoh
laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan
sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga
menempati satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang
belakang, selasar, dan dapur.
Setiap
sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan
belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara
sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.
Jendela yang disebut “singap”
sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa
penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi
jeruji berukir.
Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala,
atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek,
kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong
menjadi arena tempat bermain anak-anak.
Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut “hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga
Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”,
yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik
rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu
pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum sebuk kawo dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Bagian
halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai
teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan. Pekarangan rumah
keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya
sangat luas dan panjang.
|
Rumah adat Kerinci |
Model dan konstruksi arsitektur rumah tradisional Kerinci
mencerminkan betapa masyarakat sangat mengutamakan semangat
kekerabatan, kebersamaan, dan kegotongroyongan dalam kehidupannya
sebagai falsafah pegangan hidup manusia sebagai makhluk sosial.